jalanviral.com – Lionel Messi tetap menunjukkan kelasnya di MLS, namun kekacauan di lini belakang mulai menjadi titik lemah fatal yang menyeret performa Inter Miami ke jurang ketidakstabilan.

Miami mulai terbiasa menjadi target untuk dikalahkan, tapi tidak ada yang mempermalukan mereka seperti yang dilakukan Minnesota United pada 11 Mei dengan skor telak 1-4. Bahkan, Minnesota sempat menyindir skuad bertabur bintang Miami sebagai "klub pink yang penuh kepalsuan", sindiran yang cukup membuat Presiden klub, David Beckham, naik pitam.

Dalam pertandingan terbaru kontra San Jose Earthquakes (15 Mei), Miami hanya mampu bermain imbang 3-3 meski sempat unggul. Messi tak bisa menyembunyikan kekesalannya dan hampir mendapat kartu merah usai bersitegang dengan wasit.

Kemarahan Messi dan Beckham mencerminkan tekanan yang sudah mengendap selama berminggu-minggu. Harapan besar di ajang CONCACAF Champions Cup juga runtuh setelah Miami dilumat Vancouver Whitecaps dengan agregat 1-5. Padahal, turnamen ini sempat jadi prioritas utama mereka.

Masalah terbesar Miami? Kebobolan terlalu banyak. Bahkan tim sekelas FC Dallas, yang tergolong medioker, pernah membobol gawang mereka empat kali di bulan April. Pola ini terus berulang dan kini jadi kebiasaan yang sulit diubah.

Bagi Messi, situasi ini terasa familiar—mirip dengan saat dia bermain di PSG. Di sana, bersama Mbappé dan Neymar, mereka tampil gemilang secara individu, namun gagal sebagai kolektif karena lini tengah dan pertahanan yang rapuh. Hal serupa kini terjadi di Miami, meski ada Messi, Suarez, Jordi Alba, dan Busquets.

Pelatih Javier Mascherano mencoba menstabilkan lini tengah dengan memasang Yannick Bright, gelandang pekerja keras lulusan sistem sepak bola universitas Amerika. Namun, Busquets yang berusia 36 tahun tampak kewalahan menutup celah yang ditinggalkan rekan-rekannya.

Kekalahan menyakitkan dari Atlanta United musim lalu membuktikan bahwa Miami butuh kecepatan dan kekuatan fisik di lini belakang. Maxi Falcon dan Gonzalo Lujan direkrut untuk itu, tapi pertahanan mereka tetap mudah ditembus lewat transisi cepat lawan. Kurangnya koneksi antara lini tengah dan pertahanan masih menjadi masalah mendasar.

Bahkan, beberapa kesalahan tak bisa dijelaskan dengan taktik, seperti gol bunuh diri konyol Marcelo Weigandt dan momen di mana Jordi Alba meninggalkan posisinya, memberi ruang bebas pada lawan untuk mencetak gol. Fokus dan konsentrasi yang hilang menjadi penyebab kekalahan berulang.

"Saat pemain tampil buruk, itu salah saya. Sepenuhnya tanggung jawab saya," ujar Mascherano. Namun, bila hasil buruk terus berlanjut, sang pelatih bukan hanya akan merasa tertekan, tapi juga bisa kehilangan jabatannya.

Awal musim sebenarnya menjanjikan, dengan rekor tak terkalahkan dalam 8 laga, termasuk kemenangan besar atas Columbus Crew. Namun, sejak itu, lubang-lubang dalam struktur tim mulai terlihat jelas. Vancouver berhasil memaksa Miami bermain ke sisi sayap, membuat Messi dan Suarez kehilangan peran. Miami jadi tumpul, dan lawan semakin mudah menguasai permainan.

Kini, rumor transfer menyebutkan Kevin De Bruyne dan Angel Di Maria bisa bergabung musim panas ini. Tapi solusi ini mungkin datang terlambat untuk Club World Cup, tempat Messi dan rekan-rekan harus tampil di bawah sorotan dunia. Bahkan Mascherano mengakui, Miami belum siap bersaing secara serius di ajang global itu.

Meski demikian, Miami hanya terpaut 6 poin dari puncak klasemen Wilayah Timur dan masih berpeluang meraih Supporters' Shield. Tahun lalu, mereka baru tampil konsisten sejak pertengahan musim. Namun, musim ini ekspektasinya lebih tinggi. Mereka akan diukur bukan dari laga musim reguler, melainkan dari jumlah trofi yang berhasil diraih.

Satu gelar Leagues Cup seperti tahun 2023 saja takkan cukup. Messi tak pernah mengangkat trofi Liga Champions bersama PSG, dan skenario itu bisa saja terulang di MLS atau CONCACAF bersama Miami.