Cerita Sulitnya Warga Negara Asing Kabur dari Gempuran Israel di Gaza
Warga negara asing dan orang Palestina berkewarganegaraan ganda kesulitan pergi dari Gaza. Mereka masih berusaha menyelamatkan diri dari serangan Israel.
Orang Palestina berkewarganegaraan Australia, Fady Abukhousa, menceritakan betapa sedihnya harus berpisah dengan istri dan kedua anaknya yang masih terjebak di Jalur Gaza. Sebenarnya, mereka pergi bersama-sama ke Gaza untuk menemui keluarga mereka. Hanya, Abukhousa pulang ke Sydney terlebih dahulu pada akhir September.
Dia meninggalkan istri dan anak-anaknya di Gaza dan tak menyangka bahwa keluarganya akan terjebak dalam situasi yang membahayakan nyawa seperti sekarang.
"Ini sangat sulit," kata Abukhousa seperti dilansir dari Al Jazeera, Jumat (3/11/2023).
Dia mendapatkan kabar bahwa anak-anaknya yang berusia 7 dan 10 tahun tidak bisa tidur di malam hari karena pemboman tiada henti terjadi.
Sejak dia mengetahui bahwa perbatasan yang menghubungkan Mesir dengan Jalur Gaza dibuka sementara pada hari Rabu, Abukhousa berusaha mati-matian untuk menghubungi keluarganya.
Istri dan anak-anaknya, bersama dengan sekitar 500 orang lainnya, termasuk dalam daftar orang asing dan berkewarganegaraan ganda. Menurut Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza, mereka telah dihubungi Rabu pagi dan mendesak mereka untuk berangkat ke perbatasan Rafah.
Namun karena pemadaman komunikasi yang diberlakukan kembali oleh Israel di Gaza semalam, Abukhousa tidak tahu apakah mereka mendapat berita tersebut. Sebab, sampai berita ini diturunkan dia belum mendengar kabar dari keluarganya dalam dua hari.
Situasi yang dialaminya merupakan simbol dari tantangan yang terus muncul dalam mengeluarkan orang-orang dari Gaza. Israel seolah tak membiarkan orang-orang ini pergi dengan mudah sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023.
"Saya kira mereka tidak tahu (perbatasan) dibuka," kata Abukhousa.
Keluarganya telah menempuh perjalanan empat kali dalam beberapa minggu terakhir, saat mereka berlindung sekitar 20 menit berkendara, di kamp pengungsi Bureij yang terletak di Jalur Gaza tengah.
Namun mereka tetap pergi karena menyadari bahwa perbatasan masih tertutup karena situasi di perbatasan terlalu berbahaya bagi mereka untuk tinggal.
Sementara itu, Kedutaan Besar Australia mengatakan kepada Abukhousa bahwa mereka tidak bisa berbuat banyak untuk membantu keluarganya.
Di sisi lain, di Kota Khan Younis di Gaza selatan, Nadia Eldin berbagi keputusasaan yang sama dengan Abukhousa.
Eldin sendiri bukanlah warga negara ganda atau warga negara asing. Namun putrinya, Lama, adalah warga negara Bulgaria, lahir di negara Eropa ketika keluarga Eldin tinggal di sana sekitar 15 tahun yang lalu.
Meskipun Lama ada dalam daftar Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza, dia tidak menerima panggilan yang menyuruhnya pergi ke perbatasan Rafah, kata ibunya.
Sebaliknya, Eldin mendapat telepon dari teman-temannya di Ramallah pada hari Rabu di mana mereka mendesaknya untuk menuju ke penyeberangan.
Ibu tiga anak ini sangat ingin pergi, mencari perlindungan dengan kerabatnya di Kairo, Mesir, namun keluarga tersebut tidak memiliki mobil. Mereka juga tidak yakin bahwa di tengah jalan mereka tidak akan dibom.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang?" Eldin bertanya-tanya, terisak ketika dia berbicara dengan Al Jazeera melalui telepon. "Tidak ada keamanan. Bom di mana-mana," ujarnya.
Saat dia berbicara, dia menyadari bahwa baterai ponselnya hampir habis. Dia hanya mampu mengisi dayanya menggunakan generator untuk waktu singkat di siang hari.
Sementara itu, tidak jelas apakah orang yang ingin menyeberang di Rafah memerlukan visa Mesir.
Amena Nasrate tidak mau mengambil risiko. Ibu dan neneknya berada di Gaza. Pelajar Palestina di Kairo, yang juga warga negara Australia itu, pada hari Rabu menuju ke kedutaan negaranya di Mesir untuk mendapatkan visa bagi kerabatnya setelah dia mendengar pembukaan penyeberangan tersebut.
Ayah Nasrate, Sam, juga masuk dalam daftar Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza, sebagai warga negara Australia. Dia juga masih berada di Gaza.
"Situasinya semakin buruk," katanya yang sangat ingin mengeluarkan keluarganya.
Selain mereka, ada 4 warga negara ganda lain yang masuk dalam daftar Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza.
Dua di antara mereka, yang berkewarganegaraan ganda, masing-masing Jepang dan Indonesia, tidak menerima telepon dari kedutaan mereka atau pihak berwenang lainnya yang menyuruh mereka untuk berangkat ke perbatasan.
Seorang wanita, Samira Ismail Abusharkh, dengan kewarganegaraan ganda di Austria, mengatakan dia menerima telepon dari kedutaan Austria yang meminta agar dia dan suaminya menuju penyeberangan Rafah, tetapi mereka tidak memberikan informasi tentang sarana transportasi.
Seorang pria lain, yang kedua anaknya bernama Islam dan Hisham berkewarganegaraan Jepang, disuruh oleh kedutaan Jepang untuk menuju penyeberangan Rafah. Namun, serangan udara terus berlanjut di sekitar mereka dan tidak ada jalan keluar yang aman.
Komentar Pedas