Film Barbie, Pertentangan antara Barbie Land dan Dunia Nyata
Film Barbie sudah tayang di bioskop mulai 19 Juli lalu. Ini berarti 64 tahun sejak boneka Barbie hadir di dunia.
Jurnalis Time Eliana Dockterman melaporkan, usaha-usaha membuat live action Barbie sebelum versi Margot Robbie ini sebenarnya sudah ada.
Salah satunya saat Amy Schumer, komedian Amerika Serikat yang terkenal feminis, menandatangani kontrak untuk memerankan Barbie pada 2016.
Tapi kerja sama Schumer dan Mattel, perusahaan mainan raksasa yang memproduksi Barbie, akhirnya kandas. Sebagaimana ditulis Dockerman, Schumer memutuskan berhenti dari kerja sama itu. Alasannya, film Barbie yang sedang digarap kurang feminis dan keren.
Sementara COO sekaligus Presiden Mattel, Richard Dickson, mengatakan beberapa potensi kerja sama untuk membuat live action Barbie gagal karena mereka belum menemukan penulis naskah yang tepat.
Kemudian masuklah Greta Gerwig, sutradara dan penulis skenario yang sukses jadi puja-puji kritikus film setelah membuat Lady Bird dan Little Women.
Gerwig, bersama sang suami Noah Baumbach, terlibat dalam film ini karena Margot Robbie. Sebagai salah satu produser, Robbie memilih Gerwig karena ia suka dengan karakter-karakter di film Gerwig yang ringan tapi penuh makna. Selain itu, menurut Robbie, Gerwig juga mampu membaca kondisi masyarakat saat ini.
Saat menulis naskah untuk Barbie, menurut laporan ABC, Gerwig merasa bahwa hanya dialah orang yang tepat untuk menyutradarainya. Maka, bersama Robbie, Gerwig mempersuasi Mattel untuk mempercayakan film ini padanya. Tentu saja ini bukan kepercayaan yang mudah, mengingat Mattel harus menjaga persepsi publik terhadap produk ikonik mereka yang sangat berharga.
Mattel akhirnya percaya, bahkan tidak masalah saat film Barbie memiliki muatan feminisme, walaupun mereka menghindari kata itu dipakai untuk mendeskripsikan film mereka.
“Ini (Barbie) jelas film feminis,” kata Gerwig dalam wawancara dengan jaringan penyiaran Australia, ABC. “Kami justru menyelami kompleksitas feminisme, bukannya lari darinya. Melihat semua kontroversi feminisme dan masuk ke dalam negosiasi mengenai seperti apa seharusnya perempuan itu, dan bagaimana memberikan perempuan sesuatu yang bukan situasi yang sulit, terasa feminis bagi saya.”
Film Barbie mempertentangkan dua dunia, yakni dunia Barbie dan dunia nyata manusia. Margot Robbie memerankan Barbie, yang kadang disebut “Stereotypical Barbie” oleh beberapa pengulas film. Barbie yang diperankan Robbie ini tinggal di Barbie Land. Dialah Barbie paling populer di antara Barbie-barbie lain di tempat itu.
‘Melampaui Feminisme’
Di film ini, Barbie Land adalah tempat yang matriarkis. Semua perempuan di sana percaya diri, cukup dengan dirinya, dan sukses. Para Barbie di sana memegang posisi-posisi penting di masyarakat, seperti dokter, pengacara, dan politisi. Presidennya juga perempuan. Justru para Ken semacam menjadi warga kelas dua.
Plot bergerak ketika Barbie mengalami krisis eksistensial. Sebagai solusi, dia harus pergi dari Barbie Land menuju dunia nyata manusia untuk menemukan siapa anak kecil di dunia manusia yang memiliki dirinya. Sebab, tampaknya krisis eksistensial itu ditularkan dari si pemilik ke Barbie.
Barbie kaget ketika berada di dunia nyata. Sebab, dia merasakan dunia yang 180 derajat berbeda. Di dunia yang patriarki ini, Barbie dilecehkan dan mengalami catcalling. Sementara, Ken, yang di Barbie Land cuma jadi “Ken”, justru merasa senang dengan dominasi pria di dunia nyata itu. Bahkan, dia mencoba menegakkan patriarki ketika kembali ke Barbie Land.
Dalam tulisannya The Conversation, Katie Pickles, profesor sejarah di University of Canterbury, menafsirkan cerita ini dengan menyatakan bahwa Ken telah menjadi korban seksisme di Barbie Land. “Barbie berkembang, sementara Ken tertinggal. Ken adalah kelamin yang diobjektifikasi dan disingkirkan,” tulis Pickles.
Menurut Pickles, film ini memberi gambaran bahwa matriarki bisa punya efek buruk, seperti halnya patriarki. “Lebih baik mengkombinasikan pink dan biru sehingga menjadi ungu, ketimbang keduanya bersaing,” tulisnya.
Pendapat Pickles ini senada dengan apa yang diungkapkan Margot Robbie dalam wawancara dengan ABC. “Kalau Anda melihat Barbie Land di awal film, para Barbie ada di atas dan para Ken seperti diabaikan. Itu bukan kesetaraan,” kata dia. “Menjelang akhir film, saat mereka menyeimbangkan posisi, mungkin itu yang disebut feminisme, atau melampaui feminisme.”
Komentar Pedas