Getirnya Hidup Bernad Ervander, Kini Lulus Bintara Polri Ingin Cari Makam Ibu
Bernad Ervander Laia, pemuda asal Nias Selatan, Sumatera Utara (Sumut) kini bernapas lega karena telah dilantik menjadi seorang polisi berpangkat brigadir dua (bripda).
Pemuda 20 tahun dari pasangan mendiang Bajunia Laia (ayah) dan Kasihani Nehe (ibu) ini tumbuh di tengah kondisi yang penuh kepedihan dan kegetiran.
Bripda Bernad menceritakan ibunya mengalami gangguan jiwa seusai kakak laki-lakinya meninggal dunia. Ibunya pergi keluar dari rumah dan menjadi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalan.
"Ibu sama ayah dulu sudah berpisah saat saya kecil. Dikarenakan ibu dulu mengalami gangguan jiwa akibat dari meninggalnya abang saya. Mamak saya sudah stres, gangguan jiwa. Ibu berkeliaran di jalanan. Semenjak itu saya melanjutkan hidup dengan ayah, ikut ayah saat SD di Medan," kata Bernad kepada detikcom, Jumat (30/12/2023).
Meski berat hati meninggalkan ibunda di Nias Selatan, Bernad berharap kepindahannya ke Medan menjadi titik awal hidup yang lebih baik dengan ayahnya.
Namun karena kesibukan Sang Ayah mencari nafkah dengan jadi operator alat berat, membuat Bernad kecil tak mampu mengurus dirinya sendiri hingga hampir putus sekolah.
"Saat ayah kerja di bagian alat berat, ikut ayah keliling proyek, dan hampir putus sekolah karena tidak ada yang urus saya dan sekolah saya. Karena itu saya dioper ke rumah bibi di Medan. Saya SD di situ 6 tahun lah, dari usia 7 sampai 13 tahun," ucapnya yang resmi dilantik menjadi anggota Polri pada Kamis, 21 Desember lalu.
Tinggal bersama bibinya tak lantas membuat Bernad hidup nyaman di masa SD-nya, karena keterbatasan ekonomi keluarga bibinya. Untuk meringankan beban bibi, Bernad ikut berjualan roti dan mengumpulkan botol bekas untuk dijual kembali ke pengepul.
"Sambil kerja bantu-bantu jual roti keliling. Bibi juga orang susah. Saya juga kadang ambil botol, rongsokan, untuk dijual lagi. Itulah sehari-hari saya saat kecil," ucap Bernad.
Hilang Arah saat Ibu dan Ayah Meninggal
Cobaan di hidupnya tak berhenti sampai di situ. Saat mendengar kabar baik ibunya mulai sembuh dari gangguan jiwa, ternyata ada kabar buruk setelahnya yakni Sang Ibu mengidap kanker rahim.
"SMP ayah masih ada, ibu masih ada juga. Saya dengar sebenarnya ibu sudah mulai sembuh saya dengar kabar dari keluarga di Nias Selatan. SMP itu saya pindah lagi ke Nias Selatan, ibu sudah mulai sembuh direhabilitasi di gereja. Sekitar kelas 2 SMP Semester II di situlah ibu meninggal karena kanker rahim," ujar Bernad.
Bernad pun mengaku tak sempat bertemu ibunda untuk terakhir kalinya meski saat SMP sudah kembali ke Nias Selatan. Dengan keterbatasan, Bernad remaja mengaku hanya menerima nasib saat tahu jasad ibunda dibawa ke Siantar untuk dikuburkan di sana.
"Karena ibu sudah lama tidak ditengok, jenazah mamak sudah dibawa ke Siantar, saya sudah tidak sempat lihat mamak. Ayah sudah menikah lagi, punya anak dan istri baru lagi. Sampai sekarang karena keterbatasan saya, saya belum tahu di mana mamak dikubur. Ini juga saya sekarang sudah jadi polisi, saya mau cari di mana kuburan mamak," ucap Bernad.
Selang 6 bulan setelah ibunya meninggal, Bernad mendapat kabar ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja saat mengoperasikan alat berat. Dua peristiwa yang terjadi di waktu berdekatan ini membuat Bernad benar-benar hidup sebatang kara dan hilang arah.
"Selang waktu 6 bulan ayah meninggal karena kecelakaan kerja, tabrakan saat bawa alat berat di proyek. Saya pun bingung itu mau lanjut sekolah atau nggak, sudah nggak ada semangat hidup lagi, mau ke mana juga sudah bingung. Ibu tiri saya bawa adik kecil pulang ke rumah orang tua ibu tiri saya, saya ditinggalkan," cerita Bernad.
Namun Bernad mengatakan akhirnya dia memutuskan untuk tetap sekolah hingga tamat SMP, dan lanjut ke bangku SMA. Untuk menghidupi diri sendiri, Bernad pun harus merelakan masa remajanya untuk banting tulang.
"Kelas 3 SMP, pas mau ujian, saya bingung mau cari uang di mana, kerja di mana. Hampir putus sekolah. Akhirnya saya kerja di proyek sebagai kuli bangunan sama saudara jauh. Akhirnya saya di pekerjaan pun belajar bawa mobil, lalu malamnya kerja jadi wasit badminton sampai tamat SMA," jelas Bernad.
Muncul Niat Jadi Polisi
Bernad mengatakan dirinya berselancar di media sosial dan menemukan akun-akun dengan konten TNI-Polri. Bernad mengaku tertarik
"Saat SMA, saya sudah punya HP karena sudah kerja tadi kan. Saya lihat story-story tentara, polisi. Saya sudah mulai termotivasi mau melamar. Di tempat yang saya tinggali ini dia juga punya kos-kosan, yang ngekos banyak abang-abang polisi," jelas Bernad.
Dari situ dirinya mulai bersiap mengikuti seleksi. Pertama, dia mencoba ikut seleksi Akademi Militer, namun gugur. Kemudian dia kembali mempersiapkan diri untuk mencoba masuk Bintara Polri.
"Kebanyakan orang masuk polisi kan bimbel, kalau saya belajar dari internet malam-malam, setelah pulang kerja. Saat saya mau ikut seleksi, saya tidak ada biaya, saya sempat minta bantuan yang pekerjakan saya, tapi tidak ada dukungan. Saya patah semangat sebenarnya, saya akhirnya jual peninggalan motor almarhum orang tua. Saya jual Rp 8 juta ke saudara juga," tutur Bernad.
Bernad lalu menjual satu-satunya warisan dari mendiang ayah, yakni motor. Hasil jual motor dia gunakan untuk memeriksakan kesehatan dan operasional mengurus berkas pendaftaran bintara Polri.
Dengan sisa uang jualan motor, Bernad pergi ke Medan untuk mengikuti tahap akhir seleksi bintara Polri. Kondisi dirinya yang terbatas dari sisi ekonomi tak membuat Bernad menyerah.
"Akhirnya (uang sisa jual motor) untuk ongkos ikut tes di Medan. Buat ongkos (mengikuti seleksi akhir) saya pinjem tetangga bibi. Pulang tes akhirnya saya kerja jadi kuli panggul barang. Lumayan dapat 50 ribu, bisalah untuk biaya PP (pulang-pergi) Grab," kata dia.
Di akhir cerita, Bernad mengatakan dirinya mengapresiasi rekrutmen bintara Polri yang transparan. Dia tak menampik sebelumnya dihantui omongan-omongan miring soal rekrutmen Polri.
"Pengumuman dibuka secara lebar-lebar di layar, diumumkan semua nilai dari tahap awal penghitungannya sudah direkap betul-betul. Saya sudah mematahkan anggapan masuk polisi bayar.
Bernad mengungkapkan syukur dengan kehidupannya selama menjadi siswa Diktukba Polri kurang lebih 5 bulan. Dia pun optimis kehidupannya akan berubah menjadi lebih baik dan terarah dengan berprofesi sebagai anggota Polri.
"Saya percaya kalau kita mau berusaha, Tuhan pasti tolong. Tidak ada yang sia-sia. Yang penting kita tetap semangat bagaimana pun kondisi kita, tidak ada yang mustahil kalau kita mau berjuang," pungkasnya.
Komentar Pedas