Review Film: Dear David

Dear David menjadi sarana Lucky Kuswandi dan tim penulis menawarkan perspektif kisah cinta anak SMA. Kisah Laras dan David tak dikemas seperti film remaja di Indonesia pada umumnya.

Premis yang disuguhkan sesungguhnya segar dan berani. Sejauh ini nyaris tak ada film lokal yang secara riil bermain-main dengan topik fantasi seksual remaja.



Thông tin phim


Tema tersebut yang kemudian dicoba dieksplorasi melalui karakter Laras (Shenina Cinnamon) dan fantasinya terhadap David (Emir Mahira) yang tertuang dalam blog fantasi yang provokatif.

Lebih jauh lagi, tim penulis ingin menyuarakan berbagai hal yang kerap jadi isu anak remaja, seperti pencarian jati diri, berdamai dengan masa lalu, hingga kesehatan mental.

Dear David juga sesungguhnya berbicara tentang isu yang lebih luas, seperti kegagalan institusi pendidikan dalam menyikapi persoalan remaja.

Namun, ide yang berani itu sayangnya tak bisa dieksekusi secara optimal. Film ini terasa seperti kesulitan mengembangkan premis tersebut menjadi rangkaian cerita yang rapi dan jelas.

Para penulis seolah ingin menyelipkan isu sensitif di sana-sini, namun berujung kebingungan dalam merangkai rapi ide itu. Salah satu contohnya adalah poin utama yang ingin diangkat lewat karakter Laras.

Dear David terlihat memiliki standpoint Laras atau setiap individu berhak memiliki gairah dan fantasi selama masih dalam koridor privat.

Film itu juga mengkritik sebuah sistem imbas sekolah lebih fokus menemukan penulis fanfiction dan menghukumnya, daripada mencari penyebar fanfiction yang sesungguhnya bentuk pelanggaran ranah privat.

Namun, Dear David malah melaju ke arah tak karuan dan membuyarkan nilai-nilai awal itu.

Unsur romansa malah dihadirkan di saat sama sekali tidak ada adegan yang menggambarkan reaksi atau kondisi mental David setelah tahu dirinya jadi objek fantasi seksual. 

Sehingga, dampak yang seharusnya menjadi bagian penting film ini seolah terabaikan demi kisah romansa sang karakter utama.

Film itu kemudian beralih menjadi kisah Laras dan David berhadapan dengan dunia yang tak adil. Di titik ini, saya semakin yakin Dear David gagal mengemas premis di awal menjadi cerita yang solid.

Perasaan itu terbukti jelang akhir cerita. Adegan yang seharusnya menjadi klimaks puncak perlawanan Laras malah terasa klise dan memaksa, sehingga tidak terlalu berkesan.

Di samping eksekusi premis yang tak optimal, beberapa dialog dalam film ini juga terkesan kaku. Sejumlah aktor terlihat kurang luwes dalam memerankan karakter mereka, meski dialog yang dibawakan relatif sederhana.   

Imbasnya, chemistry antar karakter terutama trio Laras, David, dan Dilla (Caitlin North Lewis) kurang terbangun dan tidak begitu membekas.

Meski begitu, sejumlah aspek dalam film ini tetap layak diapresiasi. Sinematografi dan scoring terasa sesuai dengan mood film yang menggambarkan lika-liku anak remaja.

Dear David juga menawarkan gambaran ideal orang tua sebagai sosok yang paling aman dan nyaman bagi anak. Hal itu terlihat dari Hana (Maya Hasan) yang tetap berpihak kepada Laras meski rahasia putrinya terbongkar.

Penggambaran karakter Hana sebagai sosok ibu yang tidak judgemental itu menjadi salah satu aspek terbaik yang paling saya suka dari film ini.

Pada akhirnya, eksekusi premis yang kurang optimal itu memicu kontroversi di kalangan penonton. Perdebatan muncul karena Dear David gagal mengakhiri konflik dengan kesimpulan yang tegas.

Keputusan sutradara menyelami berbagai isu secara tak terarah juga membuat film ini sulit diurai. Imbasnya, reaksi penonton terbelah dengan argumen dan pembenaran masing-masing.

Namun terlepas itu, Dear David cukup berhasil melahirkan diskursus hangat yang sanggup bertahan di media sosial selama beberapa hari.


Bỏ Qua Quảng Cáo

Sau 5 giây sẽ có nút "Bỏ Qua Quảng Cáo"

Đang lựa chọn dữ liệu nhanh nhất gần vùng.

Nhập mật khẩu 123 để xem!

X

Komentar Pedas