Kematian Tragis di Villa Dolce: Sebuah Kisah Nyata yang Penuh Misteri

Pada tahun 1925, terjadi kasus yang menggemparkan di Villa Dolce, Garut. Istri Konsulat Spanyol di Australia ditemukan tewas di kamarnya.



Thông tin phim


Bagaimana kisahnya?

Garut pada zaman dulu menjadi tujuan liburan para pejabat dan orang penting dari Eropa. Dengan pemandangan alam yang cantik, Garut pun mendapat julukan sebagai 'Swiss van Java'.

Salah satu orang penting yang kepincut buat liburan ke Garut adalah Campbell MacFie, istri seorang pejabat konsulat Spanyol di Sydney, Australia. MacFie menginap di Villa Dolce, sebuah hotel megah sekelas bintang lima di Garut zaman itu.

Mengutip surat kabar Sydney Morning Herald terbitan Rabu 23 September 1925, MacFie diketahui melakukan reservasi kamar pada Kamis 3 September 1925 pagi hari. Namun, kala itu, pemilik hotel cemas, karena tamu barunya tidak kunjung keluar kamar.

Macfie terlihat terakhir kali sekitar Jumat pukul 09.30 WIB berdasarkan kesaksian seorang pelayan, namun hingga malam harinya wanita itu tak terlihat keluar dari kamar.

"Hingga Jumat malam, tidak terdengar kabar apa pun tentang Macfie, manajer hotel yang mengetuk pintunya pada Sabtu sore tidak mendapat jawaban. Saat membuka pintu, dia melihat pemandangan yang mengerikan," seperti dikutip dari media terbitan Australia, Jumat (2/2) akhir pekan lalu.

Sydney Morning Herald menggambarkan keadaan mengerikan saat jasad Macfie ditemukan. Ia ditemukan di antara selimut dengan kondisi kelambu ditutup. Indikasi awal menunjukkan dia bunuh diri.

"Tetapi pemeriksaan lebih lanjut, mengungkapkan banyak luka parah di tenggorokan dan lengan, menunjukkan bahwa bunuh diri tidak mungkin dilakukan. Namun tidak ditemukan senjata," tulis koran tersebut.

Rangga Suria Danuningrat, pegiat sejarah dari Sukabumi History, mengutip informasi tambahan dari pemberitaan Bataviaasch Nieuwsblad yang menggambarkan kondisi Macfie telah dibunuh secara brutal.

"Maka dimulailah kisah kasus pembunuhan yang menggegerkan, tidak hanya di Garut tetapi juga seluruh Hindia Belanda untuk waktu yang lama, termasuk pula beritanya sampai ke telinga penduduk Sukabumi saat itu," kata Rangga.

Saat itu, Garut terkenal karena suasana kotanya yang sangat indah. Saking indahnya, bahkan orang-orang Belanda dan Eropa menjuluki kota Garut sebagai kota paling indah sepanjang Asia. Namun, munculnya kasus itu berpotensi mencoreng Garut.

"Peristiwa pembunuhan di Villa Dolce itu jelas berpotensi mencoreng image Kota Garut kala itu. Dan oleh karenanya, Polisi Hindia Belanda segera bergerak menyelidiki pembunuhan turis dari Australia tersebut. Semua yang berada di dalam hotel, baik karyawan, maupun tamu-tamu menjadi target pertama penyelidikan polisi," tutur Rangga.

Motif Perampokan Diabaikan

Motif perampokan saat itu diabaikan, karena kondisi seluruh barang-barang berharga milik korban ditemukan dalam kondisi utuh. Korban bahkan masih memakai arlojinya saat ditemukan. Arloji sendiri adalah barang sangat mewah kala itu.

Cincin, uang 600 gulden, dan buku cek juga utuh dan tidak diganggu. Namun penyelidikan selanjutnya menunjukkan ada anting-anting yang hilang, juga sebuah keranjang kecil, yang dibeli Ny Macfie sebagai suvenir.

"Dari situ polisi mengabaikan pelakunya adalah kaum pribumi, baik pribumi yang ada di dalam hotel atau di luar hotel. Menurut polisi, pribumi tidak mungkin berani melakukan pembunuhan orang kulit putih tanpa motif merampok," ujar Rangga.

Penyelidik medis menetapkan bahwa pembunuhan itu terjadi pada Sabtu pagi, antara jam 15.00 WIB dan 18.00 WIB sore.

"Fokus polisi kemudian mulai membidik orang kulit putih, atau setidaknya orang asing sebagai pelakunya. Apalagi kemudian muncul bukti-bukti baru, dimana sebuah buku milik korban diketahui hilang. Selain itu diketemukan pula sebuah coretan puisi dengan inisial 'EN' di dalamnya. Polisi juga mencurigai salah seorang warga negara Australia lain di hotel itu yang bertingkah laku aneh," sambung Rangga.

Sosok Macfie sebagai istri pejabat konsulat Spanyol di Sydney Australia, juga menguatkan dugaan bahwa motif pembunuhan ini terkait dengan statusnya tersebut.

"Kesimpulan polisi tersebut dianggap sudah matang dan tinggal dilakukan investigasi lebih lanjut. Maka sesaat setelah pemakaman korban, kamar hotel sebagai tempat kejadian perkara segera dibersihkan. Kamar itu sudah steril sepenuhnya termasuk kemungkinan hilangnya sidik jari," ucap Rangga.

Gobbledygook (Bodoh)

Langkah yang awalnya diharapkan bisa membuat keguncangan atas peristiwa tersebut membaik, malah mendapat sorotan tajam dari media saat itu. Bahkan, tindakan itu dianggap sebagai sesuatu yang bodoh.

"Pers menyebutnya memalukan. 'Gobbledygook', (bodoh) begitulah sebutannya. Karena semua surat kabar nasional memuat berita tersebut dan ada kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap pariwisata," tulis javapost, salah satu media Belanda.

"Setelah media ramai memberitakan kecerobohon ini, pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Jaksa Penuntut Umum, Mr Einthoven bersama dengan kepala reserse di Batavia yaitu komisaris BR van der Most diturunkan untuk menangaini kasus ini. Setelah beberapa hari bekerja, mereka berdua membuat kesimpulan sebaliknya. Mereka menghapus kecurigaan bahwa pelakunya orang Eropa dan Australia dan mulai melihat indikasi pelakunya adalah orang pribumi," beber Rangga.

Pelaku Pembunuhan Ternyata Pribumi

Salah satu pelayan hotel akhirnya bersaksi, dia melihat rekannya pelayan lain melemparkan koper ke dalam sebuah sumur. Dua koper kemudian ditemukan di dasar sumur. Kondisi kedua koper itu telah kosong dan kemungkinan besar dibuang setelah diambil isinya.

Orang yang membuang koper tersebut diketahui bernama Rachman, mandor kereta api atau biasa disebut 'pelari' dari hotel tersebut

"Rachman mengakui bahwa ialah yang membuka kamar hotel dan mengambil koper-koper korban. Namun, ia menyangkal tuduhan telah melakukan pembunuhan. Rachman mengaku bahwa seorang temannya bernama Entjim yang merencanakan perampokan itu. Entjim beserta seorang blasteran Inggris India yang bernama Rueben, yang merupakan karyawan di hotel lain. Menurut Rachman, Ruebenlah sebagai pelaku penusukan brutal tersebut," beber Rangga.

Pernyataan Rachman mendapat pembenaran dari seorang wanita tuna susila bernama Nji Enoh yang malam itu disewa oleh Rachman untuk menemani tamu hotel. Semua tersangka akhirnya dibawa ke Batavia untuk diperiksa lebih lanjut. Interogasi terhadap Entjim dan Rueben juga dilakukan menguatkan pernyataan Rachman tersebut.

"Pisau dengan bekas darah korban kemudian ditemukan. Entjim yang awalnya bersikeras membantah keterlibatannya, kemudian menyerah, serta mengakui aksinya dalam peristiwa pembunuhan itu. Entjim menyatakan bahwa Ruebenlah yang telah mengajaknya melakukan kejahatan tersebut dengan embel-embel uang," kata Rangga mengutip sejumlah sumber.

Meski sudah ada pengakuan, namun, penyelidikan kasus ini dinilai lambat oleh media. Lebih dari setengah tahun berlalu, tapi polisi belum berhasil mengungkap motif sebenarnya dari pembunuhan tersebut. Para tersangka pun belum dijatuhi hukuman.

"Dampak berlarutnya dari kasus ini mulai terasa. The Indian Courant pada terbitan 4 April 1926, menulis bahwa dampak peristiwa itu adalah takutnya para calon pelancong datang ke Garut atau bahkan ke Hindia Belanda. Pemerintah kolonial bergerak cepat dan sidang pengadilan pun digelar," ujar Rangga.

Jalannya Persidangan

Sidang digelar seolah tergesa-gesa akibat dampak tekanan yang terjadi. Majelis hakim Landraad atau pengadilan negeri yang terdiri dari seorang hakim ketua berdarah Eropa yang bernama FA Folkersma, yang didampingi beberapa hakim pribumi, memimpin persidangan yang menyedot perhatian dunia.

Tersangka Rachman dijanjikan akan dibebaskan dari tuduhan asal bersedia menjadi saksi utama dan untuk mencegah para terdakwa saling menyangkal, lalu pengadilan dilakukan secara terpisah.

"Terdakwa Entjim kemudian disidang terlebih dahulu. Pada persidangan pertama, Entjim menyangkal semua tuduhan, namun lagi-lagi ia menyerah setelah ditunjukan semua bukti dan saksi. Dalam persidangan Entjim itu, terungkap kronologi pembunuhan," ungkap Rangga.

Campbell Macfie melakukan reservasi di hotel dan menampilkan kesan yang glamour dan kaya raya. Hal itu menarik perhatian Rueben, yang diam-diam mengawasi Nyonya Campbell.

Rueben saat itu segera memberi tahu Entjim dan Rachman bahwa ia ingin bertemu mereka nanti untuk membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka.

"Saat bertemu, dalam kronologi yang diceritakan Entjim, Rueben yang merupakan blasteran Inggris India itu mengutarakan niatnya untuk membunuh dan merampok Nyonya Campbell. Entjim dijanjikan uang sejumlah 200 Gulden oleh Rueben," tutur Rangga.

Rueben, seperti Entjim, akhirnya divonis penjara seumur hidup. Pasca vonis tersebut, masyarakat pariwisata Garut bisa sedikit tenang. Namun, tetap saja ada yang mengganjal berkaitan motif pembunuhan tersebut.

Apalagi, yang diambil hanyalah 2 koper tanpa barang-barang berharga, seperti perhiasan yang masih utuh tak tersentuh di dekat mayat korban.

"Jika alasan Rueben adalah upaya memperburuk citra Hotel Villa Dolce agar hotel tempatnya bekerja menjadi berjaya, itu juga tak bisa diterima akal, karena Rueben hanyalah seorang karyawan biasa dan kondisi hotel tempat Rueben bekerja juga tidak akan diuntungkan jika citra Villa Dolce runtuh, sehingga kasus ini menyisakan misteri yang berkepanjangan," pungkas Rangga.


Bỏ Qua Quảng Cáo

Sau 5 giây sẽ có nút "Bỏ Qua Quảng Cáo"

Đang lựa chọn dữ liệu nhanh nhất gần vùng.

Nhập mật khẩu 123 để xem!

X

Komentar Pedas