Review Film: Sewu Dino
Sewu Dino sedikit mengobati rasa kecewa saya karena KKN Di Desa Penari yang penggarapannya jauh di bawah harapan. Sama-sama berasal dari cerita SimpleMan, Sewu Dino digarap lebih apik.
Saya harus memberikan apresiasi kepada penulis Sewu Dino, Agasyah Karim dan Khalid Khasogi, serta sutradaranya, Kimo Stamboel, atas bangkitnya lagi sedikit ekspektasi saya terhadap semesta cerita SimpleMan.
Memang Sewu Dino bagi saya tidak seseram film-film horor Indonesia lainnya, tapi dari segi penulisan cerita, produksi, hingga pasca-produksinya, film ini terbilang lebih baik dari KKN Di Desa Penari.
Dari segi cerita, Agasyah dan Khalid cukup baik mengenalkan latar belakang cerita dan penuturan alur yang mulus dari awal.
Apalagi saya memahami terbilang sulit untuk menjaga cerita "tetap menarik" demi mempertahankan kejutan-kejutan cerita kepada penonton.
Namun Kimo Stamboel dengan cerdik mempermainkan visual dan penyajian Sewu Dino. Meskipun, ciri khas Kimo yang berlumuran darah terlihat lebih terkendali dalam film ini.
Meski begitu, Kimo tak kehilangan gaya penyutradaraannya. Sewu Dino berhasil terasa sebagai karya tersendiri yang memiliki rasa gabungan dari buah tangan Kimo dan masih bagian dari semesta SimpleMan.
Saya juga mau memberikan apresiasi pada Patrick Tashadian selaku sinematografer yang memberikan visual yang apik dalam film ini. Tak terasa berlebihan seperti sinetron, tapi tetap terasa cukup menguatkan ceritanya.
Selain itu, beberapa unsur cerita pun diberikan sebagai pengingat penonton bahwa Sewu Dino adalah masih 'saudara' dari KKN Di Desa Penari, mulai dari latar lokasi cerita, permasalahan yang diangkat, hingga unsur budaya lokal yang dibawa.
Sewu Dino pun fokus pada permasalahan mistik yang dihadapi para tokoh dan dilengkapi dengan jumpscare-jumpscare yang cukup bisa diterima oleh penonton.
Namun bagi mereka yang berharap cerita Sewu Dino akan bisa membuat menjerit ketakutan hingga terasa trauma usai menonton, sebaiknya anggapan itu dihilangkan.
Bila saya bisa menyebut, Sewu Dino terbilang soft untuk kategori horor. Apakah memang disengaja untuk mendapatkan rating 13 , itu hanya bisa dijawab oleh produser dan sutradara.
Namun Sewu Dino memang tepat untuk penonton remaja. Kisah yang renyah dan tak terlalu rumit bisa menjadi horor-horor menggelitik tanpa mesti meringis melihat ceritanya seperti di KKN Di Desa Penari.
Setidaknya bagi saya, masih ada harapan untuk semesta cerita SimpleMan yang punya banyak penggemar di Twitter untuk mendapatkan cerita film horor dan bukan sekadar eksploitasi konten viral.
Hanya saja, ada sejumlah catatan yang sebaiknya diperhatikan oleh studio. Perolehan seperti KKN Di Desa Penari mungkin terasa muluk untuk terjadi lagi, tapi bukan mustahil bila kualitas dari film semesta ini terus membaik.
Penting bagi studio untuk memperhatikan siapa penulis dan sutradara yang sungguh bisa mewujudkan gagasan dari cerita SimpleMan ke gambar bergerak. Namun yang terpenting, mereka tidak terpaku dalam pola-pola cerita horor pada umumnya.
Terakhir, agaknya strategi pemasaran yang hanya menjanjikan adegan baru cuma beberapa menit sebagai versi baru sebaiknya dicari penggantinya.
Alih-alih terhibur, cara versi-versian itu membuat penonton lebih terasa seperti ditipu karena terpaksa melihat lagi film tanpa menyadari apa yang baru dari versi 'beda' tersebut.
Komentar Pedas